Rabu, 27 April 2016

Resensi novel laskar pelangi

RESENSI NOVEL”LASKAR PELANGI "

Identitas buku
Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Kota Terbit : Yogyakarta
TahunTerbit : 2007
Cetakan : III
Tebal Buku : 533 halm. Termasuk juga tentang Penulis.
ISBN : ISBN 979-3062-79-7
• Sinopsis
Novel ini mengisahkan tentang sepuluh anak Belitung yang tergabung dalam Laskar Pelangi mereka adalah Mahar, Ikal, Lintang, Harun, Syahdan,A Kiong,Trapani, Borek, Kucai dan satu-satunya wanita yaitu Sahara . Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan di pedalaman Belitung yang kontras dan yang kaya akan timah, namun masyrakatnya tidak mampu memenuhi kehidupannya sehari-hari. Novel ini juga menceritakan tentang semangat juang dari anak-anak kampung Belitung untuk mengubah nasib mereka melalui sekolah. Sebagian besar orang tua mereka lebih senang melihat anak-anaknya membantunya dari pada belajar di sekolah.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu, sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru yaitu seorang Kepala Sekolah yang sudah tua yang bernama bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda yang bernama ibu Muslimah Hafsari yang juga sangat miskin berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu terselamatkan berkat seorang anak yang sepanjang masa bersekolah yang tak pernak mendapatkan rapot.
Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan karena donator dikomunitas marjinal itu begitu miskin. Seperti gedung sekolahnya yang sudah roboh, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya dan pada malam hari dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras, sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan. Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari disekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh itu. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP ( Sekolah Kepandaian Putri ). Mereka berdua saling bahu membahu membesarkan hati anak-anak tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan buk Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesepuluh muridnya. Kedua guru miskin itu member julukan kesepuluh murid itu sebagai laskar pelangi.
Keajaiban juga terjadi ketika sekolah muhammadiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi yaitu ( Ikal, Lintang, dan Sahara ) berhasil menjuarai lomba cerdas pangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Taayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah muhammadiyah ketika Lintang sisiwa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal Cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarganya, sebab ayahnya sudah meninggal dunia. Meskipun awal tahun 90-an sekolah muhammadiyah itu akhirnya ditutup karena samaskali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri, tapi semangat, integritas, keluruhan budi dan ketekunan yang diajarkan pak Harfan dan buk Mus tetap hidup dalam hati laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sepuluh orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager disalah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, dan juga ada yang mendapatkan beasiswa internasional kemudian melakukan research di University the paris surbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitar termuka di Inggris semua itu berkat dari pendidikan dan akhlak kecintaan intelektual yang diajarkan oleh pak Harfan dan buk Mus. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau diujung paling selatan Sumatra itu.
• Unsur intrinsik novel
Adapun yang membangun unsur intrinsic dalam sebuah karya sastra khususnya novel adalah sebagai berikut :
a) Tema
Dalam Novel Laskar Pelangi ini tema utamanya adalah pendidikan. Namun uniknya tema pendidikan ini diselangi dengan kisah persahabatan yang erat antara anggota Laskar Pelangi, tema pendidikan ini juga dipadukan dengan tema ekonomi. Namun tema pendidikanlah yang lebih menonjol pada novel ini.
b) Penokohan (Watak Tokoh)
 Tokoh utama
1) Ikal
Ikal atau yang didalam novel ini berperan sebagai “aku “adalah tokoh utama. Ikal merupakan salah satu anggota lascar pelangi disekolah ia termasuk murid yang sangat pandai, namun kepandainya masih di bawah dari temannya yaitu lintang.
2) Taprani
Taprani adalah sososk tang tampan, rapi, prefeksionis, lumayan pintar bicara seperlunya(pendiam), antun sangat berbakti kepada orang tua dan manja.
3) Sahara
Sahara adalah satu-satunya murid perempuan yang bersekolah di SD Muhamadiyah, tubuhnya ramping dan selalu berjilbab rapi. Disekolah dia termasuk murid yang pintar.
4) A Kiong
A Kiong adalah satu-satunya murid yang merupakan keturuna tianghoa yang bersekolah di SD Muhammadiyah sifatnya begitu polos dan selalu mempercayai apa yang dikatakan mahar, ia selalu menjada pendukung sekaligus pengikut setia mahar.
5) Harun
Harun yang sudah mulai memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar pada usia lima belas tahun ini mengidap keterbelakangan mental, sifatnya yang santun, pendiam, dan murah senyum dan hobi mengunyah permen asam.
6) Borek
Borek memiliki badan yang tinggi besar, ia sangat terobsesi dengan body boilding an tregila-gila dengan citra cowok macho.
7) Kucai
Kucai merupakan salah satu anggota Laskar Pelangi yang diamanahi sebagai ketua kelas. Dan ia sempat frustasi ketika sempat menjadi ketua kelas karean kesulitan mengatur teman-temannya.
8) Lintang
lintang merupakan anak yang paling jenius dan gigih diantara teman-temannya.
9) Mahar
Mahar memiliki bakat di bidang seni baik itu menyanyi, melukis, seni rupan dan lain sebagainya, ia merupakan anak yang tampan, imajinatif dan kreatif.
10) Syahdan
Karakter yang tidak begitu menonjol dalam novel ini, ia hanya selalu setia menemani ikal membeli kapur tulis.
11) Flo
Flo adalah murid pindahan dari sekolah PN. Gadis tomboy yang berasal dari keluarga kaya, ia merupakan tokoh terakhir yang muncul terakhir sebagai anggota Laskar Pelangi.
12) Pak Harfan
Ia adalah kepala sekolah SD Muhamadiyah , pak harfan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pendidikan.
13) Bu Muslimah Hafsari
Ia sangat gigih dalam mengajar meskipun gajinya dibayar, ia ia berdedikasi terhadap dunia pendidikan. Wanita cantik yang menyukai bunga ini memiliki pendirian yang yang progresif dan tebuka terhadap ide-ide baru, ia termasuk ornag yang sabar dan baik hati.
c) Alur
Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu alur maju.
d) Amanat
Amanat yang terkandung dalm Novel ini yaitu jangan pernah menyerah oleh keadaan, keadaan boleh saja seba kekurangan, namun kekurangan janganlah menjadai alasan untuk tidak berusaha. Dan jauhi sifat pesimis saat menengadahkan perasaan kepada orang-orang yang ada disekitar kita, bukan berarti kita tidak bisa seperti orang yang diatas, mengeadahkan perasaan keatas mestinya dijadikan cambuk semangat untuk bisa seperti orang itu atau bisa lebih baik lagi. Contohnya paada novel ini yang menceritakan sebuah sekolah kampung (SD Muhammadiyah) biasa yang selalu optimis untuk bisa lebih baik dari sekolah dari sekolah yang memang sudah baik (SD PN).
e) Keunggulan dan kelemahan novel Laskar Pelangi
1) Keunggulan Novel
Banyak sekali pelajaran yang kita teladani dari novel Laskar Pelangi seperti, keagamaan moral, ketegaran hidup bahkan makna sebuah takdir yang tidak bisa kita tebak.
2) Kelemahan Novel
Terdapat banyak kata-kata yang sulit untuk dipahami atau dimengerti karena menggunakan kata-kata daerah yang belum diketahui artinya.
f) Kesimpulan
Novel ini sangatlah bagus bagi para pelajar yang mendapat kemudahan ekonomi dalam menggapai pendidikan juga bagi para pendidik dan pemerintah yang memiliki kemajuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia, karena novel ini meiliki banyak peszn moral, pendidikan, dan social yang sangat bagus.
• SUMBER
Buku novel Laskar Pelangi karangan ANDREA HIRATA

Bab 8

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB VIII
CENTER OF EXCELLENCE

 SEKOLAH-SEKOLAH PN Timah, yaituTK,SD, dan SMP PN berada dalam kawasan
 Gedong. Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis berusia ratusan
 tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu
 tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of excellenceatau tempat bagi semua
 hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN
 Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern
 ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina.
 Gedung-gedung sekolah PN didesain dengan arsitektur yang tak kalah indahnya
 dengan rumah bergayaVictoriadi sekitarnya. Ruangan kelasnya dicat warna-warni
 dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi dasar matematika, tabel

 pemetaan unsur kimia, peta dunia, jam dinding, termometer, foto para ilmuwan dan
 penjelajah yang memberi inspirasi, dan ada kapstok topi. Di setiap kelas ada patung
 anatomi tubuh yang lengkap, globe yang besar, white board, dan alat peraga konstelasi
 planet-planet.
 Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu
 yang sanggat tinggi. Sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP,
 laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas
 hiburan, dan sarana olahraga—termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam
 bahasa Belanda: zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang
 peringatan tegas “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di
 setiap kelas ada kotak P3K berisi obat-obat pertolongan pertama. Kalau ada siswanya
 yang sakit maka ia akan langsung mendapatkan pertolongan cepat secara profesional atau
 segera dijemput oleh mobil ambulans yang meraung-raung.
 Mereka memiliki petugas-petugas kebersihan khusus, guru-guru yang bergaji
 mahal, dan para penjaga sekolah yang berseragam seperti polisi lalu lintas dan selalu
 meniup-niup peluit. Tali merah bergulung-gulung keren sekali di bahu seragamnya itu.
 “Jumlah gurunya banyak.”
 Demikian ujar Bang Amran Isnaini bin Muntazis Ilham—yang pernah sekolah di
 sana—persis pada malam sebelum esoknya aku masuk pertama kali di SD
 Muhammadiyah itu.
 Aku termenung.
 “Setiap pelajaran ada gurunya masing-masing, walaupun kau baru kelas satu.”
 Maka pada malam itu aku tak bsia tidur akibat pusing menghitung berapa banyak
 jumlah guru di sekolah PN, tentu saja juga selain karena rasa senang akan masuk sekolah
 besok.
 Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi

 petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu
 saja yang orangtuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya,
 necis, dan pintar-pintar luar biasa. Mereka selalu mengharumkan nama Belitong dalam
 lomba-lomba kecerdasan, bahkan sampai tingkat nasional. Sekolah PN sering dikunjungi
 para pejabat, pengawas sekolah, atau sekolah lain untuk melakukan semacam
 benchmarking, melihat bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan ditransfer dan
 bagaimana anak-anak kecil dididik secara ilmiah.
 Pendaftaran hari pertama di sekolah PN adalah sebuah perayaan penuh sukacita.
 Puluhan mobil mewah berderet di depan sekolah dan ratusan anak orang kaya mendaftar.
 Adabazar dan pertunjukan seni para siswa. Setiap kelas bisa menampung hampir
 sebanyak 40 siswa dan paling tidak ada 4 kelas untuk setiap tingkat. SD PN tidak akan
 membagi satu pun siswanya kepada sekolah-sekolah lain yang kekurangan murid karena
 sekolah itu memiliki sumber daya yang melimpah ruah untuk mengakomodasi berapa
 pun jumlah siswa baru. Lebih dari itu, bersekolah di PN adalah sebuah kehormatan,
 hingga tak seorang pun yang berhak sekolah di situ sudi dilungsurkan ke sekolah lain.
 Ketika mendaftar badan mereka langsung diukur untuk tiga macam seragam
 harian dan dua macam pakaian olah raga. Mereka juga langsung mendapat kartu
 perpustakaan dan bertumpuk-tumpuk buku acuan wajib. Seragamnya untuk hari Senin
 adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah. Sepatu yang dikenakan berhak dan
 berwarna hitam mengilat. Sangat gagah ketika ber- marching bandmelintasi kampung.
 Melihat mereka aku segera teringat pada sekawanan anak kecil yang lucu, putih, dan
 bersayap, yang turun dari awan—seperti yang biasa kita lihat pada gambar-gambar buku
 komik. Setiap pagi para murid PN dijemput oleh bus-bus sekolah berwarna biru.
 Kepala sekolahnya adalah seorang pejabat penting, Ibu Frischa namanya. Caranya
 ber- make upjelas memperlihatkan dirinya sedang bertempur mati-matian melawan usia
 dan tampak jelas pula, dalam pertempuran itu, beliau telah kalah. Ia seorang wanita keras

 yang terpelajar, progresif, ambisius, dan sering habis-habisan menghina sekolah
 kampung. Gerak geriknya diatur sedemikian rupa sebagai penegasan kelas sosialnya. Di
 dekatnya siapa pun akan merasa terintimidasi.
 Kalau sempat berbicara dengan beliau, maka ia sama seperti orang Melayu yang
 baru belajar memasak, bumbunya cukup tiga macam: pembicaraan tentang fasilitasfasilitas
 sekolah PN, anggaran ekstrakurikuler jutaan rupiah, dan tentang murid-muridnya
 yang telah menajdi dokter, insinyur, ahli ekonomi, pengusaha, dan orang-orang sukses di
 kotaatau bahkan di luar negeri. Bagi kami yang waktu itu masih kecil, masih
 berpandangan hitam putih, beliau adalah seorang tokoh antagonis.
 Yang dimaksud dengan sekolah kampung tentu saja adalah perguruan
 Muhammadiyah dan beberapa sekolah swasta miskin lainnya di Belitong. Selain sekolah
 miskin itu memang terdapat pula beberapa sekolah negeri di kampung kami. Namun
 kondisi sekolah negeri tentu lebih baik karena mereka disokong oleh negara. Sementara
 sekolah kampung adalah sekolah swadaya yang kelelahan menyokong dirinya sendiri.

Bab 7

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB VII
ZOOM OUT

 TAK disangsikan, jika di- zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya diIndonesia.
 Inilah kampung tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal
 puluhan kali lipat dibanding segantang padi. Triliunan rupiah aset tertanam disana,
 miliaran rupiah uang berputar sangat cepat seperti putaran mesin parut, dan miliaran
 dolar devisa mengalir deras seperti kawanan tikus terpanggil pemain seruling ajaib Der
 Rattenfanger von Hameln. Namun jika di- zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu
 tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.
 Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras
 seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika
 diumpamakankotayang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi
 industri. Disana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang
 jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak. Mereka menyalahkan
 pemerintah karena tidak menyediakan hiburan yang memadai sehingga jika malam tiba
 mereka tak punya kegiatan lain selain membuat anak-anak itu.
 Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah
 negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya disana, yang ada
 hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang
 renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman
 keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan
 kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang.
Di antara rumah panggung itu berdesak-desakan kantor polisi, gudang-gudang
 logistik PN, kantor telepon, toapekong, kantor camat, gardu listrik, KUA, masjid, kantor
 pos, bangunan pemerintah—yang dibuat tanpa perencanaan yang masuk akal sehingga

 menjadi bangunan kosong telantar, tandon air, warung kopi, rumah gadai yang selalu
 dipenuhi pengunjung, dan rumah panjang suku Sawang.
 Komunitas Tionghoa tinggal di bangunan permanen yang juga digunakan sebagai
 toko. Mereka tidak memiliki pekarangan. Adapun pekarangan rumah orang Melayu
 ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang
 membosankan. Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati
 berwarna cokelat—juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung berkeliaran
http://www.mardias.mywapblog.com
 seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering
 menimbulkan keributan kecil.
 Jalan raya di kampung ini panas menggelegak dan ingar-bingar oleh suara logam
 yang saling beradu ketika truk-truk reyot lalu-lalang membawa berbagai peralatan teknik
 eksplorasi timah. Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan.
 Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas,
 penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kanotr desa, pedagang, dan
 pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para
 penduduk, kambing, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur,
 tak berseni, dan kusam.
 Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak
 sontak berantakan ketika kantor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10.
 Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan
 serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour.
 Demi mendengar sirine itu, dari rumah-rumah panggung, jalan-jalan kecil, sudutsudut
 kampung, rumah-rumah dinas permanen berdinding papan, dan gang-gang sempit
 bermunculanlah para kuli PN bertopi kuning membanjiri jalan raya. Mereka berdesakan,
 terburu-buru mengayuh sepeda dalam rombongan besar atau berjalan kaki, karena
 sepuluh menit lagi jam kerja dimulai. Jumlah mereka ribuan.

 Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing: bengkel bubut, kilang minyak,
 gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli yang bekerja shiftdi
 kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan
 digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7 kembali dibunyikan sirene kedua tanda jam resmi
 masuk kerja. Lalu tiba-tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali
 lengang, sunyi senyap. Setelah pukul 7 pagi, rumah orang Melayu Belitong hanya dihuni
 kaum wanita, para pensiunan, dan anak-anak kecil yang belum sekolah. Kampung
 kembali hidup pada pukul 10, yaitu ketika wanita-wanita itu memainkan orkestra
 menumbuk bumbu. Suara alu yang dilantakkan ke dalam lumpang kayu bertalu-talu,
 sahut-menyahut dari rumah ke rumah.
 Pukul 12 sirine kembali berbunyi, kali ini adalah sebagai tanda istirahat. Dalam
 sekejap jalan raya dipenuhi para kuli yang pulang sebentar. Lapar membuat mereka
 tampak seperti semut-semut hitam yang sarangnya terbakar, lebih tergesa dibanding
 waktu mereka berangkat pagi tadi. Pukul 2 siang sirine berdengung lagi memanggil
 mereka bekerja.Parakuli ini akan kembali pulang ke peraduan setelah terdengar sirine
 yang sangat panjang tepat pukul 5 sore. Demikianlah yang berlangsung selama puluhan
 tahun lamanya.
 TIDAK seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer
 sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun dessert. Bagi mereka
 semuanya adalah menu utama. Pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu
 utama itu adalah ikan gabus.Parakuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan
 pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar
 lebih praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah
 diguyur semangkuk gangan, yaitu masakna tradisional dengan bumbu kunir. Ketika
 makan emreka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Majortapi diiringi
 rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan baju pramuka.

 Setiap subuh para istri meniup siong(potongan bambu) untuk menghidupkan
 tumpukan kayu bakar. Asap mengepul masuk ke dalam rumah, menyembul keluar
 melalui celah dinding papan, dan membangunkan entok yang dipelihara di bawah rumah
 panggung. Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat diperlukan
 guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntaijuntai
 seperti cucian di atas perapian. Gemuk sapi itulah sarapan mereka setiap pagi.
 Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgreyatau cappuccino, melainkan
 minum air gula aren dicampur jadamuntuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan
 digunakan sepanjang hari.
 Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan angin barat semakin kencang, maka
 menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang
 diasin untuk makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat
 dari ikan gabus.
 DI luar lingkungan urban, berpencar menuju dua arah besar adalah wilayah rural
 atau pedesaan. Daerha ini memanjang dalam jarak puluhan kilometer menuju ke barat ibu
kotaKabupaten: Tanjong Pandan. Sebaliknya, ke arah selatan akan menelusuri jalur ke
 pedalaman. Jalur ini berangsur-angsur berubah dari aspal menjadi jalan batu merah dan
 lama-kelamaan menjadi jalan tanah setapak yang berakhir di laut.
 Di sepanjang jalur pedesaan rumah penduduk berserakan, berhadap-hadapan
 dipisahkan oleh jalan raya. Dulu nenek moyang mereka berladang di hutan. Belanda
 menggiring mereka ke pinggir jalan raya, agar mudah dikendalikan tentu saja. Orangorang
 pedesaan ini hidup bersahaja, umumnya berkebun, mengambil hasil hutan, dan
 mendapat bonus musiman dari siklus buah-buahan, lebah madu, dan ikan air tawar.
 Mereka mendiami tanah ulayat dan di belakang rumah mereka terhampar ribuan hektar
 tanah tak bertuan, padang sabana, rawa-rawa layaknya laboratorium alam yang lengkap,
 dan aliran air bening yang belum tercemar.

 Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta
 yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi
 dalam lapisan yang sangat tipis. Kelas menengah tak ada, oh atau mungkin juga ada,
 yaitu para camat, para kepala dinas dan pejabat-pejabat publik yang korupsi kecilkecilan,
 dan aparat penegak hukum yang mendapat uang dari menggertaki cukongcukong
 itu.
 Sisanya berada di lapisan terendah, jumlahnya banyak dan perbedaannya amat
 mencolok dibanding kelas di atasnya. Mereka adalah para pegawai kantor desa, karyawan
 rendahan PN, pencari madu dan nira, para pemain organ tunggal, semua orang Sawang,
 semua orang Tionghoa kebun, semua orang Melayu yang hidup di pesisir, para tenaga
 honorer Pemda, dan semua guru dan kepala sekolah—baik sekolah negeri maupun
 sekolah kampung—kecuali guru dan kepala sekolah PN.

Bab 6

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB VI
G E D O N G

 PULAU Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanahSumatrayang
 membujur dan disanamengalir kebudayaan Melayu yang tua. Pada abad ke-19, ketika
 korporasi secara sistematis mengeksploitasi timah, kebudayaan bersahaja itu mulai hidup
 dalam karakteristik sosiologi tertentu yang atribut-atributnya mencerminkan perbedaan
 sangat mencolok seolah berdasarkan status berkasta-kasta. Kasta majemuk itu tersusun
 rapi mulai dari para petinggi PN Timah yang disebut “orang staf” atau urang setap dalam
 dialek lokal sampai pada para tukang pikul pipa di instalasi penambangan serta warga
 suku Sawang yang menjadi buruh-buruh yuka penjahit karung timah. Salah satu atribut
 diskriminasi itu adalah sekolah-sekolah PN.
 Maka lahirlah kaum menak, implikasi dari institusi yang ingin memelihara citra
 aristokrat. PN melimpahi orang staf dengan penghasilan dan fasilitas kesehatan,
 pendidikan, promosi, transportasi, hiburan, dan logistik yang sangat diskriminatif
 dibanding kompensasi yang diberikan kepada mereka yang bukan orang staf. Mereka,
 kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti
 orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di
 Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya
 korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilese yang
dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain.
 Sepadan dengan kebun gantung yang memesona di pelataran menaraBabylonia,
 sebuah taman kesayangan Tiran Nebuchadnezzar III untuk memuja Dewa Marduk,
 Gedong adalah land markBelitong. Ia terisolasi tembok tinggi berkeliling dengan satu
 akses keluar masuk seperti konsep cul de sacdalam konsep pemukiman modern.
 Arsitektur dan desain lanskapnya bergaya sangat kolonial. Orang-orang yang tinggal di

 dalamnya memiliki nama-nama yang aneh, misalnya Susilo, Cokro, Ivonne, Setiawan,
 atau Kuntoro, tak ada Muas, Jamali, Sa’indun, Ramli, atau Mahader seperti nama orangorang
 Melayu, dan mereka tidak pernah menggunakan bin atau binti.
 Gedong lebih seperti sebuahkotasatelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi
 Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan
 menyergap, mengintergoasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang
 tangkapan pada tulisan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”
 yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas disana, sebuah power
 statementtipikal kompeni.
 Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak, dan kesan
 itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah
 semerah darah di atas kap mobil-mobil mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di
 sana, rumah-rumah mewah besar bergayaVictoriamemiliki jendela-jendela kaca lebar
 dan tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah-rumah itu
 ditempatkan pada kontur yang agak tinggi sehingga kelihatan seperti kastil-kastil kaum
 bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup
 tenteram sebuah keluarga kecil dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai,
 temaram, dan sejuk.
 Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasarselasar
 panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi para pembantu, garasi,
 dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi
 Nymphaea caereuleaatau the blue water lilyyang sangat menawan dan di tengahnya
 terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang
 menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.
 Pot-pot kayu anggrek mahal Tainia shimadaidan Chysisdigantungkan berderetderet
 di bibir atap selasar dan di bawahnya tersusun rapi bejana keramik antik bertanggatangga

 berisi kaktus Chaemasereasdan Parodia scopa. Untuk urusan bunga ini ada
 petugas khusus yang merawatnya. Di luar lingkar kolam didirikan sebuah kandang
 berlubang kotak-kotak kecil persegi berbentuk piramida yang berseni dan ditopang oelh
 sebuah pilar bergaya Romawi, itulah rumah burung merpati Inggris.
 Di dalam rumah utama sang majikan terdapat ruang tamu dengan lampu-lampu
 yang teduh dan perabot utama disanaadalah sebuah sofa Victorian rosewoodberwarna
 merah. Jika duduk di atasnya seseorang dapat merasa dirinya seperti seorang paduka raja.
 Di samping ruang tamu adalah ruang makan tempat para penghuni rumah makan malam
 mengenakan busana senja yang terbaik dan bersepatu. Di meja makan mewah dengan
 kayu cinnamon glaze, mereka duduk mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum
 ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and Gorgonzola soup, lalu
 hadir caesar saladmenu utama, chicken cordon bleu, vitello alla Provenzale, atau ….
 Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy cheesecake topped with
 stawberry puree, buah-buah persik dan prem.
 Mereka makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegan:
 Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner. Setelah
 melampirkan serbet di atas pangkuannya makan malam dimulai nyaris tanpa suara dan
 tak ada seorang pun yang menekan bibir meja dengan sikunya.
 Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka, menghadap
 ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal yang biru. Mejanya juga berbeda yakni
 terracotta tile top ovalyang lucu namun berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi
 omelet dan menyeruput the Earl Greyatau cappuccino, lalu mereka melemparkan remahremah
 roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.
 Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi
 dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna
 orang awam. Hamparan rumput manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya

 dengan tinggi permukaan yang sama.Adadaya tarik tersendiri di situ. Tak ada parit,
 karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang
 raja, bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang-seling di
 antara taman-taman bunga umum, ornamen, galeri, angsa-angsa besar yang berkeliaran,
 kafe members only, patung-patung, snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak
 berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas, trotoar untuk membawa anjing jalanjalan,
 kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik,
 kecuali sedikit bunyi, rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing
 anggora.
 Namun, selain suara hewan-hewan lucu itu sore ini terdengar lamat-lamat denting
 piano dari salah satu kastilVictoriayang terututp rapat berpilar-pilar itu. Floriana atau
 Flo yang tomboi, salah seorang siswa sekolah PN, sedang les piano. Guru privatnya
 sangat bersemangat tapi Flo sendiri terkantuk-kantuk tanpa minat. Kedua tangannya
 menopang wajah murungnya sambil menguap berulang-ulang di samping sebuah
 instrumen megah: grand pianomerk Steinway and sonsyang hitam, dingin, dan
 berkilauan. Wajah Flo seperti kucing kebanyakan tidur dan bangun magrib-magrib.
 Bapaknya—seorang Mollen Bas, kepala semua kapal keruk—duduk di sebuah
 kursi besar semacam singgasana sehingga tubuh kecilnya tenggelam. Kakinya dibungkus
 sepatu mahal De Carlocokelat yang elegan, tergantung berayun-ayun lucu. Ia geram
 pada tingkah si tomboi dan malu pada sang guru, seorang wanita berkacamata, setengah
 baya, berwajah cerdas dan hanya bisa tersenyum-senyum. Beliau tak henti-henti
 memohon maaf pada wanita Jawa yang sangat santun itu atas kelakuan anaknya.
 Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur
 lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delfdi Holland dari Fakultas
 Werktuiqbouwkunde, Maritieme techniek & technische materiaalwetenschappen, yang
 artinya kurang lebih: jago teknik.

 Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal
 di Gedong dan orang kampung yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elite orang
 staf karena kepintarannya. Sebagai Mollen Basbeliau sanggup mengendalikan shift
 ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing
 sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi miliaran dolar. Tapi
 menghadapi anak perempuan kecilnya, si tomboi gasing yang tak bisa diatur ini, beliau
 hampir menyerah. Semakin keras suara bapaknya menghardik semakin lebar Flo
 menguap.
 Pokok perkaranya sederhana, yakni beliau telah memiliki beberapa anak laki-laki
 dan Flo si bungsu, adalah anak perempuan satu-satunya. Namun anak perempuannya ini
 bersikeras ingin menjadi laki-laki. Setiap hari beliau berusaha memerempuankanFlo
 antara lain dengan memaksanya kursus piano. Grand pianoitu didatangkan dengan kapal
 khusus dariJakarta. Guru privat yang merupakan seorang instruktur musik profesional,
 juga khusus dijemput dari Tanjong Pandan. Lebih dari itu, di sela kesibukannya,
 bapaknya rela menunggui Flo kursus, namun yang beliau dapat tak lebih dari uapanuapan
 itu. Flo bahkan tak berminat menyentuh tuts-tuts hitam putih yang berkilat-kilat
 karena pikirannya melayang ke sasana tempat ia latihan kick boxingdan angkat barbel.
 Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena
 pengharuh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki atau karena suatu
 ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model
 lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajah cantiknya agar merefleksikan
 seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang
 dibelikan ibunya. Guru privat itu memperkenalkan dengan lembut notasi do, mi, sol, si
 dalam lintasan empat oktaf dan memperlihatkan posisi jari-jemari pada setiap notasi itu
 sebagai dasar bagi Flo untuk berlatih fingering. Flo menguap lagi.

Bab 5

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB V
THE TOWER OF BABEL

 JUMLAH orang Tionghoa di kampung kami sekitar sepertiga dari total populasi.Ada
 orang Kek, ada orang Hokian, ada orang Tongsan, dan ada yang tak tahu asal usulnya.
 Bisa saja mereka yang lebih dulu mendiami pulau ini daripada siapa pun. Aichang, phok,
 kiaw, dan khaknai, seluruhnya adalah perangkat penambangan timah primitf yang
 sekarang dianggap temuan arkeologi, bukti bahwa nenek moyang mereka telah lama
 sekali berada di Pulau Belitong. Komunitas ini selalu tipikal: rendah hati ddan pekerja
 keras. Meskipun jauh terpisah dari akar budayanya namun mereka senantiasa memelihara
 adat istiadatnya, dan di Belitong mereka beruntung karena mereka tak perlu jauh-jauh
 datang ke Jinchanying kalau hanya ingin melihat Tembok Besar Cina.
 Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri
 tembok tinggi yang panjang dan disanasini tergantung papan peringatan “DILARANG
 MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Di atas tembok ini tidak hanya
 ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat
 berduri seperti di kampAuschwitz. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang
 melindungi berbagai dinasti dari sebuan suku-suku Mongol di utara, di Belitong tembok
 yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah

 dominasi dan perbedaan status sosial.
 Di balik tembok itu terlindung sebuah kawasan yang disebut Gedong, yaitu negeri
 asing yang jika berada di dalamnya orang akan merasa tak sedang berada di Belitong.
 Dan di dalamsanaberdiri sekolah-sekolah PN. Sekolah PN adalah sebutan untuk sekolah
 milik PN (Perusahaan Negara) Timah, sebuah perusahaan yang paling berpengaruh di
 Belitong, bahkan sebuah hegemoni lebih tepatnya, karena timah adalah denyut nadi pulau
 kecil itu.
 Suatu sore seorang gentleman keluar dari balik tembok itu untuk berkeliling
 kampung dengan sebuah Chevrolet Corvette, lalu esoknya di depan sebuah majelis ia
 mencibir.
http://www.mardias.mywapblog.com
 “Tak satu pun kulihat ada anak muda memegang pacul! Tak pernah kulihat orangorang
 muda demikian malas seperti di sini.”
 Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang
 bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material tambang!
 LAKSANA theTowerofBabel—yakni Menara Babel, metafora tangga menuju
 surga yang ditegakkan bangsa babylonia sebagai perlambang kemakmuran 5.600 tahun
 lalu, yang berdiri arogan di antara Sungai Tigris dan Eufrat di tanah yang sekarang
 disebut Irak—timah di Belitong adalah menara gading kemakmuran berkah Tuhan yang
 menjalar sepanjang Semenanjung Malaka, tak putus-putus seperti jalian urat di punggung
 tangan.
 Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium,
 hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri
 ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai
 kuning berkilauan karena bijih-bijih timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari.
 Pantulan cahaya itu adalah citra yang lebih kemilau dari riak-riak gelombang laut dan
 membentuk semacam fatamorgana pelangi sebagai mercusuar yang menuntun para

 nakhoda.
 Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke
 pulau itu tidak menyimpang ke Laut Cina Selatan, tetapi timah dialirkan-Nya kesana
 untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena mena pada
rezeki Tuhan sehingga nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji
 bangsa Lemuria?
 Kilau itu terus menyala sampai jauh malam. Eksploitasi timah besar-besaran
 secara nonstop diterangi ribuan lampu dengan energi jutaan kilo watt. Jika disaksikan
 dari udara di malam hari Pulau Belitong tampak seperti familia besar Ctenopore, yakni
 ubur-ubur yang memancarkan cahaya terang berwarna biru dalam kegelapan latu: sendiri,
 kecil, bersinar, indah, dan kaya raya. Belitong melayang-layang di antara Selat Gaspar
 dan Karimata bak mutiara dalma tangkupan kerang.
 Dan terberkatilah tanah yang dialiri timah karena ia seperti knautia yang dirubung
 beragam jenis lebah madu. Timah selalu mengikat material ikutan, yakni harta karun tak
 ternilai yang melimpah ruah: granit, zirkonium, silika, senotim, monazite, ilmenit, siderit,
 hematit, clay, emas, galena, tembaga, kaolin, kuarsa, dan topas …. Semuanya berlapislapis,
 meluap-luap, beribu-ribu ton di bawah rumah-rumah panggung kami. Kekayaan ini
 adalah … bahan dasar kaca berkualitas paling tinggi, bijih besi dan titanium yang bernas,
 … material terbaik untuk superkonduktor, timah kosong ilmenit yang digunakan
 laboratorium roket NASA sebagai materi antipanas ekstrem, zirkonium sebagai bahan
 dasar produk-produk tahan api, emas murni dan timah hitam yang amat mahal, bahkan
 kami memiliki sumber tenaga nuklir: uranium yang kaya raya. Semua ini sangat
 kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang
 hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung
 padi.
 Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalahkotapraja Konstantinopel

 yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitungyang termasyhur di seluruh
 negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku
 Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya
 jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana
 telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga—termasuk beberapa
 padanggolf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan
 Belitong—sebuah pulau kecil—seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah.
 PN merupakan penghasil timah nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang
 dari 14.000 orang. Ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja di Belitong dan
 menghasilkan devisa jutaan dolar. Lahan eksploiotasinya tak terbatas. Lahan itu disebut
 kuasa penambangan dan secara ketat dimonopoli. Legitimasi ini diperoleh melalui
 pembayaran royalti—lebih pas disebut upeti—miliaran rupiah kepada pemerintah. PN
 mengoperasikan 16 unit emmer bager atau kapal keruk yang bergerak lamban, mengorek
 isi bumi dengan 150 buah mangkuk-mangkuk baja raksasa, siang malam merambah laut,
 sungai, dan rawa-rawa, bersuara mengerikan laksana kawanan dinosaurus.
 Di titik tertinggi siklus komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya
 mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan
 kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak
 hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok
 feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun
 yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagaian komunitas di Belitong
 juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan
 kesempatan, dan trickle down effects.

Bab 4

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB IV
PEREMPUAN-PERMPUAN PERKASA

 AKU pernah membaca kisah tentang wanita yang membelah batu karang untuk
 mengalirkan air, wanita yang menenggelamkan diri belasan tahun sendirian di tengah
 rimba untuk menyelamatkan beberapa keluarga orang utan, atau wanita yang berani
 mengambil risiko tertular virus ganas demi menyembuhkan penyakit seorang anak yang
 sama sekali tak dikenalnya nun jauh diSomalia. Di sekolah Muhammadiyah setiap hari
 aku membaca keberanian berkorban semacam itu di wajah wanita muda ini.
 N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami

 memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian
 Putri), namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid,
 pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan
 Islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan
 guru—lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam
 tahun di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai
 dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai
 Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian mengajar, beliau
 melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk mencari nafkah,
 menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
 BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan
 jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan mengajarkan
 kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral, demokrasi, hukum, keadilan,
 dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang sekarang meributkan soal
 materialisme versus pembangunan spiritual dalam pendidikan. Dasar-dasar moral itu
 menuntun kami membuat konstruksi imajiner nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks
 Islam. Kami diajarkan menggali nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik
 karena kesadaran pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah
 Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam konteks
 legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman pengalaman lainnya.
 “Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu
 menasihati kami.
 Bukankah ini kata-kata yang diilhami surah An-Nisa dan telah diucapkan ratusan
 kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang
 mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengungdengung
 di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah

 terlamabat shalat.
 Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh
 mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang
 bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan. Beliau tak menanggapi keluhan itu tapi
 mengeluarkan sebuah buku berbahasa Belanda dan memerplihatkan sebuah gambar.
 Gambar itu adalah sebuah ruangan yang sempit, dikelilingi tembok tebal yang
 suram, tinggi, gelap, dan berjeruji. Kesan di dalamnya begitu pengap, angker, penuh
 kekerasan dan kesedihan.
 “inilah sel Pak Karno di sebuah penjara diBandung, di sini beliau menjalani
 hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu
 orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini.”
 Beliau tak melanjutkan ceritanya.
 Kami tersihir dalam senyap. Mulai saat itu kami tak pernah lagi memprotes
 keadaan sekolah kami. Pernah suatu ketika hujan turun amat lebat, petir sambar
 menyambar.Trapanidan Mahar memakai terindak, topi kerucut dari daun lais khas
 tentara Vietkong, untuk melindungi jambul mereka. Kucai, Borek, danSaharamemakai
 jas hujan kuning bergambar gerigi metal besar di punggungnya dengan tulisan “UPT Bel”
 (Unit Penambangan Timah Belitong)—jas hujan jatah PN Timah milik bapaknya. Kami
 sisanya hampir basah kuyup. Tapi sehari pun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah
 mengeluh, tidak, sedikit pun kami tak pernah mengeluh.
 Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang
 sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka
 yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar
 sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat. Mereka mengajari kami membuat rumahrumahan
 dari perdu apit-apit, mengusap luka-luka di kaki kami, membimbing kami cara
 mengambil wudu, melongok ke dalam sarung kami ketika kami disunat, mengajari kami

 doa sebelum tidur, memompa ban sepeda kami, dan kadang-kadang membuatkan kami
 air jeruk sambal.
 Mereka adalah ksatriatampapamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu
 pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang
 diberikan pohon filicium yang menaungi atap kelas kami. Pohon ini meneduhi kami dan
 dialah saksi seluruh drama ini. Seperti guru-guru kami, filicium memberi napas

 kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem.

Bab 3

"NOVEL Laskar Pelangi"
by: Andrea Hirata

BAB III
I N I S I A S I

 TAK susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan
 atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit
 saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.
 Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
 untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama
 sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan kawan
 sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
 Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
 memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K. Jika
 kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami
 akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas
 hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu
 ada tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
 Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
 Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi,
 pengawas sekolah, apalagi anggota dewan. Yang rutin berkunjung hanyalah seorang pria

 yang berpakaian seperti ninja. Di punggungnya tergantung sebuah tabung aluminium
 besar dengan slang yang menjalar kesanakemari. Ia seperti akan berangkat ke bulan.
 Pria ini adalah utusan dari dinas kesehatan yang menyemprot sarang nyamuk dengan
 DDT. Ketika asap putih tebal mengepul seperti kebakaran hebat, kami pun bersoraksorak
 kegirangan.
 Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri.
http://www.mardias.mywapblog.com
 Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang
 bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat
 lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis
 itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya
 tertulis:
 SD MD
 Sekolah Dasar Muhammadiyah
 Lalu persis di bawah mathari tadi tertera huruf-huruf arab gundul yang nanti
 setelah kelas dua, setelah aku pandai membaca huruf arab, aku tahu bahwa tulisan itu
 berbunyi amar makruf nahi mungkar artinya :menyuruh kepada yang makruf dan
 mencegah dari yang mungkar”. Itulah pedoman utama warga Muhammadiyah. Kata-kata
 itu melekat dalam kalbu kami sampai dewasa nanti. Kata-kata yang begitu kami kenal
 seperti kami mengenal bau alami ibu-ibu kami.
 Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu
 yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip
 gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan
 tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan
 rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci?
 Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti
 umumnya terdapat di kelas-kelas sekolah dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan

 tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan
 helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan disanaadalah sebuah
 poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan.
 Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat, memakai jubah, dan ia
 memegang sebuah gitar penuhgaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah
 mengalami cobaan hidup yang mahadahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad
 bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang
 pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan
 menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak
 kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca, aku mengerti
 bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!
 Maka pada intinya tak ada yang baru dalam pembicaraan tentang sekolah yang
 atapnya bocor, berdinding papan, berlantai tanah, atau yang kalau malam dipakai untuk
 menyimpan ternak, semua itu telah dialami oleh sekolah kami. Lebih menarik
 membicarakan tentang orang-orang seperti apa yang rela menghabiskan hidupnya
 bertahan di sekolah semacam ini. Orang-orang itu tentu saja kepala sekolah kami Pak
 K.A. Harfan Efendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari
 Hamid binti K.A. Abdul Hamid.
 Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal,
 cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan
 beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya Tom Hanks di dalam film
 di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas bulan tidak pernah bertemu
 manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli. Jika kita bertanya tentang
 jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera
 menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah,
 R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja

 Anda akan merasa malu sudah bertanya.
 K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam
 garis laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat
 bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan disana. Pak Harfan telah puluhan
 tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif
 syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan
 rumahnya.
 Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi
 kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu.
 Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian dan beliau mengenakan celana panjang
 yang lusuh karena terlalu sering dicuci. Seutas ikat pinggang plastik murahan bermotif
 ketupat melilit tubuhnya. Lubang ikat pinggang itu banyak berderet-deret, mungkin telah
 dipakai sejak beliau berusia belasan.
 Karena penampilan Pak Harfan agak seperti beruang madu maka ketika pertama
 kali melihatnya kami merasa takut. Anak kecil yang tak kuat mental bisa-bisa langsung
 terkena sawan. Namun, ketika beliau angkat bicara, tak dinyana, meluncurlah mutiara-
 mutiara nan puitis sebagai prolog penerimaan selamat datang penuh atmosfer sukacita di
 sekolahnya yang sederhana. Kemudian dalam waktu yang amat singkat beliau telah
 merebut hati kami. Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang
 perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang.
 “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang …,” demikian
 ceritanya dengan wajah penuh penghayatan.
 “Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka, hingga
 mereka musnah dilamun ombak ….”
 Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: jika tak
 rajin sahalat maka pandai-pandailah berenang.

 Cerita selanjutnya sangat memukau. Sebuah cerita peperangan besar zaman
 Rasulullah di mana kekuatan dibentuk oleh iman bukan oleh jumlah tentara: perang
 Badar! Tiga ratus tiga belas tentara Islam mengalahkan ribuan tentara Quraisy yang kalap
 dan bersenjata lengkap.
 “Ketahuilah wahai keluarga Ghudar, berangkatlah kalian ke tempat-tempat
 kematian kalian dalam masa tiga hari!” Demikian Pak Harfan berteriak lantang sambil
 menatap langit melalui jendela kelas kami. Beliau memekikkan firasat mimpi seorang
 penduduk Mekkah, firasat kehancuran Quraisy dalam kehebatan perang Badar.
 Mendengar teriakan itu rasanya aku ingin melonjak dari tempat duduk. Kami
 ternganga karena suara Pak Harfan yang berat menggetarkan benang-benang halus dalam
 kalbu kami. Kami menanti liku demi liku cerita dalam detik-detik menegangkan dengan
 dada berkobar-kobar ingin membela perjuangan para penegak Islam. Lalu Pak Harfan
 mendinginkan suasana yang berkisah tentang penderitaan dan tekanan yang dialami
 seorang pria bernama Zubair bin Awam. Dulu nun di tahun 1929 tokoh ini bersusah
 payah, seperti kesulitan Rasulullah ketika pertama tiba di Madinah, mendirikan sekolah
 dari jerjak kayu bulat seperti kandang. Itulah sekolah pertama di Belitong. Kemudian
 muncul para tokoh seperti K.A. Abdul Hamid dan Ibrahim bin Zaidin yang berkorban
 habis-habisan melanjutkan sekolah kandang itu menjadi sekolah Muhammadiyah.
 Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, bahkan mungkin di Sumatra
 Selatan.
 Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus
 setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya
 yang memikat.Adasemacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia
 mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan
 hidup, berpengetahuan seluas samudra, bijak, berani mengambil risiko, dan menikmati
 daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang

 mengerti.
 Pak Harfan tampak amat bahagia menghadapi murid, tipikal “guru” yang
 sesungguhnya, seperti dalam lingua asalnya,India, yaitu orang yang tak hanya
 mentransfer sebuah pelajaran, tapi juga yang secara pribadi menjadi sahabat dan
 pembimbing spiritual bagi muridnya. Beliau sering menaikturunkan intonasi, menekan
 kedua ujung meja sambil mempertegas kata-kata tertentu, dan mengangkat kedua
 tangannya laksana orang berdoa minta hujan.
 Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami, menatap
 kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah anak-anak
 Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di telinga kami, menyitir
 dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan kami, berpantun, membelai hati
 kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam berpikir seperti kekasih merindu, indah
 sekali.
 Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui katakatanya
 yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau
 mengobarkan semangat kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan
 petuahnya tentang keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan
 memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan,
 tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup
 bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban
 untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap
 jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah
 untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.
 Kami tak berkedip menatap sang juru kisah yang ulung ini. Pria ini buruk rupa
 dan buruk pula setiap apa yang disandangnya, tapi pemikirannya jernih dan kata-katanya
 bercahaya. Jika ia mengucapkan sesuatu kami pun terpaku menyimaknya dan tak sabar

 menunggu untaian kata berikutnya. Tiba-tiba aku merasa sangat beruntung didaftarkan
 orangtuaku di sekolah miskin Muhammadiyah. Aku merasa telah terselamatkan karena
 orangtuaku memilih sebuah sekolah Islam sebagai pendidikan paling dasar bagiku. Aku
 merasa amat beruntung berada di sini, di tengah orang-orang yang luar biasa ini. Ada
 keindahan di sekolah Islam melarat ini. Keindahan yang tak ‘kan kutukar dengan seribu
 kemewahan sekolah lain.
 Setiap kali Pak Harfan ingin menguji apa yang telah diceritakannya kami
 berebutan mengangkat tangan, bahkan kami mengacung meskipun beliau tak bertanya,
 dan kami mengacung walaupun kami tak pasti akan jawaban. Sayangnya bapak yang
 penuh daya tarik ini harus mohon diri. Satu jam dengannya terasa hanya satu menit. Kami
 mengikuti setiap inci langkahnya ketika meninggalkan kelas. Pandangan kami melekat
 tak lepas-lepas darinya karena kami telah jatuh cinta padanya. Beliau telah membuat
 kami menyayangi sekolah tua ini. Kuliah umum dari Pak Harfan di hari pertama kami
 masuk SD Muhammadiyah langsung menancapkan tekad dalam hati kami untuk
 membela sekolah yang hampir rubuh ini, apa pun yang terjadi.
 Kelas diambil alih oleh Bu Mus. Acaranya adalah perkenalan dan akhirnya tibalah
 giliran A Kiong. Tangisnya sudah reda tapi ia masih terisak. Ketika diminta ke depan
 kelas ia senang bukan main. Sekarang di sela-sela isaknya ia tersenyum. Ia menggoyanggoyangkan
 tubuhnya. Tangan kirinya memegang botol air yang kosong—karena isinya
 tadi ditumpahkanSahara—dan tangan kanannya menggenggam kuat tutup botol itu.
 “Silahkan ananda perkenalkan nama dan alamat rumah …,” pinta Bu Mus lembut
 pada anak Hokian itu.
 A Kiong menatap Bu Mus dengan ragu kemudian ia kembali tersenyum.
 Bapaknya menyeruak di antara kerumunan orangtua lainnya, ingin menyaksikan anaknya
 beraksi. Namun, meskipun berulang kali ditanya A Kiong tidak menjawab sepatah kata
 pun. Ia terus tersenyum dan hanya tersenyum saja.

 “Silakan ananda …,” Bu Mus meminta sekali lagi dengan sabar.
 Namun sayang A Kiong hanya menjawabnya dengan kembali tersenyum. Ia
 berkali-kali melirik bapaknya yang kelihatan tak sabar. Aku dapat membaca pikiran
 ayahnya, “Ayolah anakku, kuatkan hatimu, sebutkan namamu! Paling tidak sebutkan
 nama bapakmu ini, sekali saja! Jangan bikin malu orang Hokian!” Bapak Tionghoa
 berwajah ramah ini dikenal sebagai seorang Tionghoa kebun, strata ekonomi terendah
 dalam kelas sosial orang-orang Tionghoa di Belitong.
 Namun, sampai waktu akan berakhir A Kiong masih tetap saja tersenyum. Bu
 Mus membujuknya lagi.
 “Baiklah ini kesempatan terakhir untukmu mengenalkan diri, jika belum bersedia
 maka harus kembali ke tempat duduk.”
 A Kiong malah semakin senang. Ia masih sama sekali tak menjawab. Ia
 tersenyum lebar, matanya yang sipit menghilang. Pelajaran moral nomor dua: jangan
 tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. Maka berakhirlah
 perkenalan di bulan Februari yang mengesankan itu.