Kampung Diatas Awan Wae Rebo
Letaknya tak terlihat dari keramaian dengan pegunungan
hujan tropis dan lembah hijau yang mendekap hangat dusun ini. Adalah Wae Rebo,
sebuah dusun yang menjadi satu-satunya tempat mempertahankan sisa arsitektur
adat budaya Manggarai yang semakin hari semakin terancam ditinggalkan
pengikutnya. Wae Rebo berada di Kabupaten Manggarai, tepatnya di Kecamatan
Satarmese Barat, Desa Satar Lenda. Di sini, satu desa dengan desa yang
lainnya jauh terpisah lembah yang menganga di antara bukit-bukit yang berkerudung
kabut di ujung pohonnya. Dusun Wae Rebo begitu terpencil sehingga warga desa di
satu kecamatan masih banyak yang tak mengenal keberadaan dusun ini. Seperti
Kampung Denge, desa terdekat ke Wae Rebo belum seutuhnya menjadi desa tetangga
karena belum semua pernah ke Wae Rebo. Sementara warga Belanda, Perancis,
Jerman, hingga Amerika dan beberapa negara Asia sudah sangat terperangah
keindahan kampung yang rumahnya seperti payung berbahan daun lontar atau rumbia
yang disebut mbaru niang.
Berkembangnya penduduk Wae Rebo membuat keberadaan sebuah
desa baru dirasakan harus dibina. Sebagian masyarakat Wae Rebo dibagi tempatnya
dengan desa baru yang disebut Kombo. Tak banyak wisatawan mengetahuinya, walau
Kombo dan Wae Rebo adalah masyarakat yang sama. Akan tetapi, karena
lingkungannya dipertahankan sesuai aslinya, Wae Rebo seolah permata di atas
lumpur. Kombo dipandang berbeda karena tidak berasal dari leluhur yang merintis
keberadaan kampung itu.
Warga paruh baya dan anak-anak sekolah tinggal di Kombo,
sedangkan orang tua dari para pria muda serta belasan tahun yang menginjak
dewasa tinggal di Wae Rebo. Mereka semua memiliki kepercayaan yang sama.
Katolik adalah agama yang dipeluk masyarakatnya, walau kepercayaan animisme
masih kental terasa dalam kehidupan mereka.
Perjalanan menuju desa Wae Rebo dimulai dari Jakarta ke
Labuan bajo. Akses untuk menuju Labuan bajo dapat dari Bali,Lombok,kupang dan
kota-kota lainnya. Semakin banyak akses menuju Labuan bajo membuat wae rebo
semakin dikenal di dalam negeri. Dari Labuan bajo perjalanan dilanjutkan ke
ruteng dapat ditempuh menggunakan mobil pribadi maupun bus antar kota. Kalau
ingin menggunakan bus biayanya kurang lebih 30-60 ribu rupiah. Perjalanan
menuju ruteng disuguhi pemandangan padang savanna versi Indonesia yang menarik
untuk dikunjungi. Setelah sampai di ruteng perjalanan dilanjutkan ke dusun
dintor,dalam perjalanan kesana jalannya cukup curam hanya dapat dilalui 2 mobil
saja. Saat perjalanan menuju dusun dintor wisatawan akan disuguhi pemandangan kabut.
Setelah sampai di dusun dintor,terkadang para wisatawan beristirahat sejenak di
perumahan milik warga yang dapat disewa seharga 200.000/malam termasuk 3 kali
makan. Penginapan yang di sediakan oleh warga dintor biasanya memiliki
pemandangan ladang sawah karena mayoritas warga dintor adalah petani. Setelah
beristirahat perjalanan dilanjutkan dengan mobil menuju desa kombo baru dapat
ditempuh dengan waktu 10 menit,setelah sampai para wisatawan menanjak selama 4
jam naik dan 2-3 jam untuk turun dari desa Wae rebo.
Pada buku “Pesan dari Wae Rebo”, Guru Besar Arsitektur
Universitas Indonesia Profesor Gunawan Tjahjono menulis, tata letak rumah-rumah
di dusun Wae Rebo menggambarkan mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan
pihak manapun. Ini lah yang berbeda dengan kebanyakan sistem desa
tradisional di Indonesia yang memiliki pola pertahanan desa. Apalagi,
masyarakat Wae Rebo juga tidak mengenal peralatan persenjataan kecuali alat
bercocok tanam. Mereka memilih ‘terpencil’ untuk lebih dekat dengan alam.
Masyarakat Wae Rebo ramah dan terbuka terhadap pelancong karena tidak mengenal
kultur berperang, warga lokal Wae Rebo relatif ramah dan bersahabat dengan
pelancong. Mereka memang mengasingkan diri, tapi terbuka kepada tamu yang
datang berkunjung. Poin ini mungkin akan sedikit menghilangkan ketegangan
pelancong yang ingin mengalami kehidupan singkat di antara masyarakat yang
masih teguh memegang adat istiadat. Pada saat wisatawan yang berkunjung dengan
menggunakan mobil pribadi da nada warga yang “meng klakson” di daerah flores
dan sekitarnya berarti “halo/permisi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar